No. 547
Vessantara-Jataka
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[479] “Sepuluh anugerah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam dekat Kapilavatthu di Hutan Banyan, mengenai turunnya hujan mukjizat.
Model PBL (Media Canva, Croombook, Kahoot, Mentimeter) di SDN No.41 Hulonthlangi Gorontalo.
Hasil Karya Kelas V SDN 41 Hulonthalangi Tahun 2023.
Arca Buddha Chinnara Lantai 3 Vihara Buddha Dharma Gorontalo.
Pentas Seni Sekolah Minggu Buddha Guna Dharma.
Siswa Agama Buddha SDN No. 41 Hulonthalangi Gorontalo Tahun Ajaran 2023/2024
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
[479] “Sepuluh anugerah,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam dekat Kapilavatthu di Hutan Banyan, mengenai turunnya hujan mukjizat.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Anda pucat, kurus, dan lemah,” dan sebagainya. Guru menceritakan kisah ini selagi berdiam di Jetavana, berkaitan dengan Penyempurnaan Kebijaksanaan. Suatu hari Persamuhan Bhikkhu sedang membahas mengenai Balairung Kebenaran, seraya mengatakan, “Sahabat, Guru memiliki kebijaksanaan besar dan luas, Beliau sigap dan cerdas, Beliau tajam dan teguh dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawannya, dengan kekuatan kebijaksanaannya ia menjungkalkan pertanyaan-pertanyaan halus yang diajukan oleh petapa khattiya dan membuat mereka terdiam, dan setelah meneguhkan mereka dalam Tiga Perlindungan dan praktik moralitas, menyebabkan mereka memasuki jalan yang membawa menuju kekekalan.” Guru kemudian datang dan bertanya apa topik yang tengah diperbincangkan Persamuhan saat mereka duduk bersama; dan ketika mendengar topiknya, Ia mengatakan, “Tidaklah luar biasa, para bhikkhu, bahwa Tathagata, setelah mencapai Penyempurnaan Kebijaksanaan bisa menjungkalkan argumen lawan-lawannya dan mengalihyakinkan para khattiya dan yang lainnya. Karena pada zaman lampau, ketika Ia masih mencari Pencerahan Sempurna, Ia bijaksana dan mampu menghancurkan argumen lawan-lawan-Nya. Ya, sungguh pada waktu Vidhurakumara, di puncak Gunung Hitam yang berjarak enam puluh yojana tingginya, dengan kekuatan kebijaksanaan, Saya mengalihyakinkan jenderal yakkha, Punnaka, dan membuatnya terdiam dan memberikan hidupnya sebagai pemberian;” dan mengatakan demikian ia menceritakan kisah masa lampau.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Ada seorang Raja Videha,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Guru selagi berdiam di Taman Latthivana, sehubungan dengan pengalihyakinan Uruvela-Kassapa. Saat itu Guru yang telah memulai zaman Dhamma nan agung,
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Di Pupphavati suatu ketika berkuasa,” dan seterusnya. Guru, ketika berdiam di Gunung Gijjhakuta, menceritakan kisah ini mengenai Devadatta. Isinya terkandung dalam bagian yang menceritakan mengenai perbuatan jahat yang mengakibatkan perpecahan dalam komunitas bhikkhu; cerita ini bisa diketahui sepenuhnya dengan mempelajari perilaku Tathagata dari sejak ia pertama menjadi petapa sampai pembunuhan Raja Bimbisara. Segera setelah menyuruh membunuh Raja Bimbisara, Devadatta menemui Ajatasattu dan berkata kepadanya, “Baginda, keinginan Anda telah tercapai, namun keinginan saya belum tercapai.” Raja menjawab, “Apa hasrat Anda?” “Saya ingin membunuh Dasabala dan kemudian menjadikan diri saya sendiri Buddha.” “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?” “Kita harus mengumpulkan beberapa pemanah.”
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Apa pun permata yang ada,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di Savatthi, mengenai perumah-tangga yang menjalani Uposatha. Pada suatu hari Uposatha, dikatakan, mereka bangun pagi, mengambil ikrar berpuasa, memberikan derma, dan setelah makan mereka membawa wewangian dan kalung bunga di tangan mereka dan pergi ke Jetavana, dan pada saat mendengar Dhamma mereka duduk di satu sisi. Guru, ketika memasuki Balairung Kebenaran, setelah duduk di tempat duduk Buddha yang berhias, melihat ke perkumpulan umat. [158] Para Tathagata senang bercakap-cakap dengan mereka di antara hadirin atau yang lainnya, yang sesuai dengan tema pembicaraannya sebuah pembabaran muncul; karena itu dalam kesempatan itu, ketika ia mengetahui bahwa pembabaran religius mengenai guru-guru lampau akan muncul sehubungan dengan perumah-tangga ini, ketika ia bercakap-cakap dengan mereka, ia menanyai mereka: “Perumah-tangga, apakah Anda semua melaksanakan hari Uposatha?” Atas tanggapan baik dari mereka, Ia berkata, “Adalah benar dan sungguh baik bagi kalian, perumah-tangga; namun bukanlah hal yang menakjubkan bahwa kalian memiliki guru seorang Buddha seperti Saya seharusnya menjalani hari Uposatha, para petapa zaman dahulu yang tanpa guru meninggalkan kejayaan besar dan mematuhi Uposatha.” Dan dengan perkataan demikian, atas permintaan mereka, ia menceritakan legenda kuno pada masa silam.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Raja Brahmadatta dari Pancala,” dan sebagainya. Guru, selagi berdiam di Jetavana, menceritakan ini mengenai penyempurnaan kebijaksanaan. Suatu hari para bhikkhu duduk di Balairung Kebenaran dan menjabarkan penyempurnaan kebijaksanaan Buddha: “Sahabat, Buddha yang mahatahu, yang kebijaksanaannya luas, tangkas, tajam, menghancurkan pandangan salah, setelah mengalihyakinkan dengan kekuatan pengetahuan-Nya sendiri, para brahamana Kutadanta dan yang lainnya, Petapa Sabhiya dan yang lainnya, perompak Angulimala dan lainnya, Yakkha Alavaka dan yang lainnya, Dewa Sakka and lain-lain, Brahma Baka dan lainnya, membuat mereka rendah hati, dan menahbiskan banyak orang menjadi petapa dan mengukuhkan mereka dalam buah jalan kesucian.” Guru kemudian datang dan bertanya apa yang tengah mereka bahas, dan ketika mereka memberitahu-Nya, la menjawab, [330] “Tidak hanya kini, pada masa lalu pun, sebelum pengetahuan-Nya sempurna, Buddha mahatahu telah memiliki berkah kebijaksanaan yang melingkupi segalanya, karena la menjalani kehidupan demi kebijaksanaan dan pengetahuan,” dan kemudian ia memberitahukan kisah masa lampau.
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Lihat rambut putih ini,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan Guru ketika berdiam di hutan mangga Makhadeva, di dekat Mithila, mengenai sebuah senyuman. Suatu hari di menjelang malam, Guru bersama sekelompok besar bhikkhu sedang berjalan mondar-mandir di hutan mangga, ketika la melihat sebuah tempat yang menyenangkan. Ingin menceritakan mengenai perilakunya pada masa lampau, ia membuat senyuman terlihat di wajahnya. Ketika ditanya oleh Bhikkhu Ananda mengapa Ia tersenyum, Ia menjawab, “Di tempat itu, Ananda, suatu ketika Saya pernah berdiam, dalam konsentrasi meditasi mendalam, pada masa pemerintahan Raja Makhadeva.” Kemudian atas permintaannya, Ia duduk di tempat yang telah disediakan, dan menceritakan kisah masa lampau.